The Matter Of Time
Barangkali semesta hanyalah sebuah pandangan semu yang tak mampu kita
sadari kebenarannya, perjalanan memberiku kenyataan hidup. Menjadi diri sendiri
adalah bentuk realitas sesungguhnya dalam kehidupan. Aku melihat hidupku
sebagai suatu rangkaian kesempatan yang bangkit dan mewujud, (Ram Dass,
Filosof). Melalui keyakinan ini, kita adalah jembatan antara realitas dan semua
yang bisa kita bayangkan. Hal tersebut merupakan kekuatan dari apa yang
benar-benar kita yakini tentang diri kita, yang menghidupkan aspirasi tertinggi
dan impian terbesar dalam diri, sesuatu yang membuat alam semesta menjadi
seperti yang kita saksikan saat ini. Dan jika seluruh alam semesta terdengar
seperti sebuah tempat yang terlalu besar untuk dipikirkan, itu tidak menjadi
sebuah masalah, mulailah dengan hanya berpikir tentang diri kita dan dunia kita
sehari-hari.
Dari
sebuah perjalanan memberikan arti dalam bentuk kehidupan. setelah setengah hari
perjalanan ke Surabaya dan sehariya lagi untuk mengelilingi kota dengan polusi
dan kemacetan yang cukup tinggi, apalagi panas yang cukup menyengat. Berbeda
jika dibandingkan dengan kota Malang yang pada bulan oktober ini masuk pada
musim dingin, sangat bertolak belakang dengan kota tetangganya (Surabaya). Bisa
dikatakan pertama kali saya melakukan perjalanan menggunakan kereta api,
berniat coba-coba dengan hanya modal nekat untuk sampai ke surabaya. Pada
akhirnya naik kereta cukup simpel dan juga relatif murah. Tentunya disitu tanpa
disengaja saya bertemu dengan teman baru, berhubung dia adalah seseorang dari
teman yang saya kenal sehingga pada akhirnya kita saling berkenalan. Tidak melulu
kita dapat bicara satu sama lain dengan penumpang kereta yang saling
berhadapan, pemberian nama terhadap manusia yang sering disebutkan sebagai
mahluk sosial kini sudah semakin terdisrupsi seiring perkembangan zaman.
Surabaya
Sesampai di Surabaya, saya melanjutkan
perjalanan dengan berjalan kaki untuk melihat keindahan gedung-gedung tinggi megah
dan pemandangan yang ditunjukkan kota surabaya yaitu padatnya kendaraan lalu
lintas, pantas saja surabaya kini disebut sebagai kota metropolitan, tetapi arti
kata metropolis yang mana dengan adanya bangunan-bangunan megah gedung-gedung
tinggi sebagai bentuk kemajuan peradaban, tetapi tidak memperhatikan dampak
lingkungannya. Dari kebanyakan orang yang masih banyak memilih menggunakan
kendaraan pribadi untuk berpergian yang mengakibatkan polusi udara di Surabaya
semakin berlebihan. Apakah cocok jika yang dikatakan kota metropolis masih
memiliki kadar udara yang buruk, kemacetan yang selalu terjadi. Namun sebutan
metropolis tidak terlepas dari kelayakan kota dan kebersihan, tapi juga
bagaimana penduduk kota lebih memilih menggunakan teransportasi umum daripada
kendaraan pribadi yang menjadikan macet di kota tersebut.
Berharap malam untuk pergi jalan-jalan
mengelilingi kota dengan lampu gedung yang bergemerlapan, namun itu tidak
terjadi, yahh mungkin dari teman paginya harus kerja dan tak enak untuk
merepotkannya. Meskipun teman banyak disana, semua berada di jarak yang cukup
jauh dari tempat teman yang satu ini. Mereka memang sibuk, namanya juga anak
kuliahan. Dan pada akhirnya pada malam hari yang kami lakukan hanya menikmati
kopi di dekat tempat kos sambil membicarakan keadaan yang pernah terlalui dari
masing-masing diri kita.
Keesokan
paginya saya berpamitan kepada teman yang pada saat itu sudah berangkat ke
tempat kerjanya, kemudian juga berpamitan kepada pemilik kos. Berjalan dari kos
sampai terminal memakan waktu hingga 8 menit, cukup melelahkan karena surabaya
terasa panas meskipun pada pagi hari, disebabkan karena polusi yang berlebihan
sampai-sampai bermandian keringat. namun yang menjadi menarik disitu, saya
tidak mengenal surabaya dan tidak tahu dari setiap daerahnya, ketika itu saya
nekat untuk naik angkot dan pada akhirnya sampailah di Tugu Pahlawan.
Dari
berbagai teman yang ada, tak ada yang dapat kutemui satupun kecuali temanku
dari kampung halaman yang sama itu, dan itupun hanya sore menjelang malam, dia
nampak kelelahan dan serasa tak tega untuk mengajaknya berlarut-larut sampai
tengah malam. Di pagi hari sampai di tugu pahlawan, rasa kecewa timbul akibat
akses untuk masuk ditutup. Sangat disayangkan sudah jauh-jauh tapi tidak kemana-mana,
sehingga saya memutuskan untuk mengelilingi setiap penjuru dari depan hingga
belakang. Sehingga pada akhirnya saya bingung harus kemana, tidak ada teman!
benar-benar tidak ada satupun, saya merasa seperti turis tanpa seorang pemandu.
Merasa bingung sampai disitu harus kemana, kuputuskan untuk mencari tempat istirahat,
namun karena berjalan kaki delapan kilometer serasa menjadi lima puluh
kilometer yang melelahkan. Akhirnya saya memaksakan diri untuk berjalan terus,
sampai pada tempat untuk beristirahat sembari meminum kopi dengan suasana
tempat yang kecil dan sederhana, tapi moderen.
Beranjak
pergi untuk melajutkan perjalanan kembali ke Malang, saya benar-benar
sendirian. kesepian manusia satu dengan sesamanya itulah yang saya rasakan,
berharap dapat bertemu orang-orang baru, namun yang hanya adalah lelah
setelahnya. Namun seperti itulah kehidupan beserta realitasnya.
Comments
Post a Comment